Pengertian dan Asas-Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Yang Terbuka

Berikut ini akan dijabarkan penjelasan mengenai Penyelenggara Pemerintahan, asas asas penyelenggaraan negara, sistem pemerintahan, Asas kepentingan umum, Asas kepastian hukum, Asas keterbukaan, Asas tertib penyelenggaraan negara, Asas profesionalitas, Asas proporsionalitas, Asas akuntabilitas.

Pengertian Penyelenggara Pemerintahan

Penyelenggara negara dalam arti luas meliputi bidang eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Adapun pengertian dalam arti sempit adalah pemerintah (eksekutif). 

Menurut UUD 1945 penyelenggara negara meliputi penyelenggara negara dalam berbagai bidang pemerintahan. 

Pengertian dan Asas-Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Yang Terbuka

Penyelenggara negara menurut undang-undang RI No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Jadi, penyelenggara negara meliputi:

  1. Pejabat negara pada lembaga negara
  2. Menteri
  3. Gubernur
  4. Hakim
  5. Pejabat negara yang lain, misalnya duta besar, wakil gubernur, bupati/walikota
  6. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategi dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara, misalnya Gubernur Bank Indonesia, Kapolri, rektor perguruan tinggi negeri.

Penyelenggara negara dalam menjalankan tugasnya berpijak pada asas-asas umum penyelenggaraan negara yang baik. 

Asas umum penyelenggaraan yang baik adalah asas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, norma kepatuhan, dan norma hukum untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Asas-asas itu meliputi:

a. Asas kepentingan umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.

b. Asas kepastian hukum, yaitu asas yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatuhan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara.

c. Asas keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif dengan memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.

d. Asas tertib penyelenggaraan negara, yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggara negara.

e. Asas profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

f. Asas proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara.

g. Asas akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penyelenggara negara yang baik harus dapat menerapkan asas keterbukaan, yakni kesediaan penyelenggara negara untuk memberitahukan hal-hal yang berkaitan dengan penyelenggara negara kepada rakyatnya. Dengan keterbukaan itu, rakyat akan percaya dan mendukung penyelenggaraan negara.

Dampak Penyelenggaraan Pemerintahan yang Tidak Terbuka

Sejak Indonesia merdeka sampai sekarang ini belum ada pemerintahan yang diselenggarakan secara terbuka dalam arti yang sebenarnya. Pemerintahan dijalankan secara tertutup dan penuh rahasia. 

Ada pembatasan yang sangat ketat dan sistematis terhadap akses berbagai informasi penting yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan. 

Bahkan, tidak jarang pembatasan itu disertai dengan represi dan kekerasan aparat pemerintah terhadap masyarakat.

Penyelenggara negara tertutup berarti, ketidaksediaan para pejabat negara untuk memberitahukan hal-hal publik kepada masyarakat luas. 

Informasi, keterangan, dan kebijakan tidak dipublikasikan kepada masyarakat luas, tetapi hanya diketahui terbatas di lingkungan pejabat negara saja. 

Akibat langsung dari penyelenggaraan pemerintahan yang tidak terbuka adalah terjadinya korupsi politik, yakni penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi atau kelompok.

Korupsi politik di Indonesia telah terjadi di hampir semua tingkatan pemerintahan, yakni dari tingkat pemerintahan desa sampai dengan pemerintahan tingkat pusat. 

Karena ketertutupan penyelenggaraan pemerintahan telah berlangsung lama, korupsi politik telah menjadi sebuah jaringan yang beroperasi sangat rapi dari pusat sampai daerah. 

Korupsi politik telah membawa akibat lanjutan, yakni krisis di berbagai bidang kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, dan keamanan.

Dalam bidang politik, lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak dapat berfungsi secara optimal. Lembaga eksekutif sangat sedikit menghasilkan kebijakan yang berpihak pada kepentingan umum. 

Bahkan, tak jarang kebijakan hanya sebagai proyek untuk memperkaya diri para pejabat yang terlihat di dalamnya. Lembaga legislatif jarang menghasilkan perundang-undangan yang sungguh-sungguh konsisten dengan pesan konstitusi sekaligus menjawab kebutuhan masyarakat. 

Hal ini terjadi karena proses pembahasan perundang-undangan diwarnai oleh kompromi-kompromi dengan imbalan uang. Lembaga yudikatif juga sering menghasilkan putusan-putusan yang kontroversial, yang bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. 

Hal ini dapat terjadi karena hukum dapat dibeli, siapa yang memiliki uang, dialah yang akan menang di pengadilan. Dalam bidang ekonomi, semua kegiatan ekonomi khususnya yang bersinggungan dengan birokrasi pemerintahan diwarnai dengan uang pelicin. 

Hal ini mengakibatkan bahwa kegiatan ekonomi menjadi berbelit-belit sehingga para investor pun enggan berinvestasi. Kegiatan ekonomi berjalan lambat dan peng-angguran terjadi di mana-mana. 

Bidang sosial budaya dan agama diwarnai oleh pendewaan materi dan budaya konsumtif. Hidup semata-mata hanya untuk memperoleh kekayaan dan kenikmatan hidup tanpa memedulikan moral dan etika. Hidup keagamaan hanya bersifat formalistik. 

Di satu sisi orang rajin beribadah dan menyukai simbol-simbol keagamaan, tetapi bersama dengan itu orang tidak merasa bersalah ketika melakukan korupsi dan berbagai tindakan yang tidak mendeteksi secara dini, mencegah dan mengatasi berbagai gejolak sosial dan gangguan keamanan yang terjadi di dalam masyrakat. 

Penyelenggaraan negara yang tertutup dapat merenggangkan hubungan antara pemerintah dan rakyat. Hal tersebut dapat menimbulkan krisis kepercayaan karena rakyat makin tidak percaya pada pemerintah. 

Ketidakpercayaan ini menimbulkan kesulitan untuk menciptakan partisipasi dan dukungan rakyat dalam pembangunan sehingga dapat melemahkan persatuan dan proses kemajuan bangsa.

Ketertutupan mengakibatkan ketidakmampuan mencegah berbagai patologi sosial, ekonomi, politik, korupsi, dan nepotisme. 

Ketertutupan juga berakibat pada matinya peluang untuk mengembangkan daya kreatif dan kemampuan bersaing secara terbuka dan adil, penyalahgunaan kekuasaan secara luas dan ketidakmampuan rakyat melakukan pengawasan dan pengendalian secara efektif. 

Akibat penyelenggaraan negara yang tidak transparan dapat terjadi hal-hal berikut.

a. Persatuan bangsa melemah.

b. Tidak terwujudnya negara demokrasi.

c. Tidak jujurnya pemerintah dan tidak bertanggung jawab.

d. Terhambatnya prakarsa dan partisipasi rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

e. Renggangnya hubungan antara pemerintah dan rakyat.

f. Penurunan kepercayaan dan dukungan rakyat pada pemerintah.

g. Timbulnya prasangka dan kecurigaan rakyat terhadap pemerintah.

h. Rentan terhadap penyimpangan kebijakan sebab rakyat tidak tahu dan tidak dapat mengawasinya.

i. Kebijakan dan informasi bersifat publik hanya diketahui para pejabat atau orang-orang tertentu, sedangkan rakyat banyak tidak tahu.

Pemerintahan yang tidak transparan akan memunculkan ketidakadilan di berbagai bidang kehidupan yang bermuara pada terancamnya kelestarian kehidupan berbangsa.

Mewujudkan Penyelenggaraan Pemerintahan yang Terbuka

Keterbukaan dalam penyelenggaraan negara tidak dapat terwujud dengan sendirinya, melainkan dengan menyadarkan diri pada niat baik pemerintah. 

Akan tetapi, niat baik pemerintah dapat hilang bersama dengan berlalunya waktu. Menurut Lord Acton, kekuasaan cenderung disalahgunakan. Semakin besar kekuasaan, semakin besar pula kemungkinan untuk disalahgunakan. 

Menurut Larry Diamond, kecenderungan umum perilaku birokrasi pemerintah di negara mana pun adalah menutup-nutupi kegiatan-kegiatan dan informasi-informasi penting dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam selubung kerahasiaan dan prosedur-prosedur yang buram. 

Untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang terbuka, dibutuhkan perundang-undangan mengenai kebebasan informasi. Perundang-undangan sekurang-kurangnya berisi ketentuan hukum yang meliputi hal-hal sebagai berikut.

  1. memberikan perincian yang sangat jelas mengenai pengecualian terhadap kebebasan informasi.
  2. memungkinkan adanya sumber informasi alternatif yang bisa dimanfaatkan oleh parlemen, pemerintah, dan publik.
  3. memberikan jaminan kepada mereka yang mengungkapkan adanya ketidakberesan dalam tubuh pemerintah.
  4. mewajibkan agar rapat-rapat lembaga-lembaga publik dilakukan secara terbuka.
  5. menjamin hak publik untuk memiliki akses terhadap berbagai dokumen pemerintah.
  6. mewajibkan pemerintah untuk bersikap terbuka.