Kehidupan Politik, Silsilah, Letak Peninggalan dan Raja-Raja Pendiri Kerajaan Islam Mataram serta Kisah Perlawanan Sultan Agung

Berikut ini akan dijelaskan mengenai kerajaan islam di jawa, kerajaan islam di pulau jawa, kerajaan mataram, kerajaan mataram islam, mataram islam, kesultanan mataram, pendiri kerajaan mataram, letak kerajaan mataram, letak kerajaan mataram islam, peninggalan kerajaan mataram islam, pendiri kerajaan mataram islam, kerajaan islam mataram, raja mataram, sultan agung, perlawanan sultan agung, silsilah kerajaan mataram islam, raja-raja kerajaan mataram islam, kehidupan politik kerajaan mataram islam.

Kerajaan Islam Mataram

Kehidupan Politik, Silsilah, Letak Peninggalan dan Raja-Raja Pendiri Kerajaan Islam Mataram serta Kisah Perlawanan Sultan Agung
Keraton Surakarta

Setelah Kerajaan Demak berakhir, berkembanglah Kerajaan Pajang di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijaya. Di bawah kekuasaannya, Pajang berkembang baik. 

Bahkan berhasil mengalahkan Arya Penangsang yang berusaha merebut kekuasaannya. Tokoh yang membantunya mengalahkan Arya Penangsang di antaranya adalah Ki Ageng Pemanahan (Ki Gede Pemanahan). 

la diangkat sebagai bupati (adipati) di Mataram. Kemudian putranya, Raden Bagus (Danang) Sutawijaya diangkat anak oleh Sultan Hadiwijaya dan dibesarkan di istana. 

Sutawijaya dipersaudarakan dengan putra mahkota, bernama Pangeran Benowo. Pada tahun 1582, Sultan Hadiwijaya meninggal dunia. Penggantinya, Pangeran Benowo merupakan raja yang lemah. 

Sementara Sutawijaya yang menggantikan Ki Gede Pemanahan justru semakin menguatkan kekuasaannya sehingga akhirnya Istana Pajang pun jatuh ke tangannya. 

Sutawijaya segera memindahkan pusaka Kerajaan Pajang ke Mataram. Sutawijaya sebagai raja pertama dengan gelar: Panembahan Senapati Ing Alaga Sayidin Panatagama. 

Pusat kerajaan ada di Kota Gede, sebelah tenggara Kota Yogyakarta sekarang. Panembahan Senapati digantikan oleh putranya yang bernama Mas Jolang (1601-1613). 

Mas Jolang kemudian digantikan oleh putranya bernama Mas Rangsang atau lebih dikenal dengan nama Sultan Agung (1613-1645). Pada masa pemerintahan Sultan Agung inilah Mataram mencapai zaman keemasan.

Dalam bidang politik pemerintahan, Sultan Agung berhasil memperluas wilayah Mataram ke berbagai daerah yaitu, Surabaya (1615), Lasem, Pasuruhan (1617), dan Tuban (1620). 

Di samping berusaha menguasai dan mempersatukan berbagai daerah di Jawa, Sultan Agung juga ingin mengusir VOC dari Kepulauan Indonesia. Kemudian diadakan dua kali serangan tentara Mataram ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629.

Kehidupan Politik, Silsilah, Letak Peninggalan dan Raja-Raja Pendiri Kerajaan Islam Mataram serta Kisah Perlawanan Sultan Agung
Masjid Agung Surakarta

Mataram berkembang menjadi kerajaan agraris. Dalam bidang pertanian, Mataram mengembangkan daerah-daerah persawahan yang luas. 

Seperti yang dilaporkan oleh Dr. de Han, Jan Vos dan Pieter Franssen bahwa Jawa bagian tengah adalah daerah pertanian yang subur dengan hasil utamanya adalah beras. 

Pada abad ke-17, Jawa benar-benar menjadi lumbung padi. Hasil-hasil yang lain adalah kayu, gula, kelapa, kapas, dan hasil palawija.

Di Mataram dikenal beberapa kelompok dalam masyarakat. Ada golongan raja dan keturunannya, para bangsawan dan rakyat sebagai kawula kerajaan. 

Kehidupan masyarakat bersifat feodal karena raja adalah pemilik tanah beserta seluruh isinya. Sultan dikenal sebagai panatagama,yaitu pengatur kehidupan keagamaan. 

Oleh karena itu, Sultan memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Rakyat sangat hormat dan patuh, serta hidup mengabdi pada sultan. Bidang kebudayaan juga maju pesat. 

Seni bangunan, ukir, lukis, dan patung mengalami perkembangan. Kreasikreasi para seniman, misalnya terlihat pada pembuatan gapura-gapura, serta ukir-ukiran di istana dan tempat ibadah. Seni tari yang terkenal adalah Tari Bedoyo Ketawang.

Dalam prakteknya, Sultan Agung memadukan unsur-unsur budaya Islam dengan budaya Hindu-Jawa. Sebagai contoh, di Mataram diselenggarakan perayaan sekaten untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad saw, dengan membunyikan gamelan Kyai Nagawilaga dan Kyai Guntur Madu. 

Kemudian juga diadakan upacara grebeg. Grebeg diadakan tiga kali dalam satu tahun, yaitu setiap tanggal 10 Dzulliijah (Idul Adha), 1 Syawal (Idul Fitri), dan tanggal 12 Rabiulawal (Maulid Nabi). 

Bentuk dan kegiatan upacara grebeg adalah mengarak gunungan dari keraton ke depan masjid agung. Gunungan biasanya dibuat dari berbagai makanan, kue, dan hasil bumi yang dibentuk menyerupai gunung. 

Upacara grebeg merupakan sedekah sebagai rasa syukur dari raja kepada Tuhan Yang Maha Esa dan juga sebagai pembuktian kesetiaan para bupati dan punggawa kerajaan kepada rajanya. 

Sultan Agung wafat pada 1645. Ia dimakamkan di Bukit Imogiri. Ia digantikan oleh putranya yang bergelar Amangkurat I. Akan tetapi, pribadi raja ini sangat berbeda dengan pribadi Sultan Agung. 

Amangkurat I adalah seorang raja yang lemah, berpandangan sempit, dan sering bertindak kejam. Mataram mengalami kemunduran apalagi adanya pengaruh VOC yang semakin kuat. 

Dalam perkembangannya Kerajaan Mataram akhirnya dibagi dua berdasarkan Perjanjian Giyanti (1755). Sebelah barat menjadi Kesultanan Yogyakarta dan sebelah timur menjadi Kasunanan Surakarta.