Deislamisasi Penulisan Sejarah Islam di Indonesia Yang Disembunyikan

Artikel sejarah kita kali ini akan membahas sejarah islam, sejarah kebudayaan islam , sejarah islam indonesia, sejarah islam di indonesia, islam di indonesia, sejarah islam yang disembunyikan, ahmad mansur suryanegara, artikel sejarah islam.

Sejarah sebagai salah satu cabang ilmu social perlu mendapatkan perhatian serius dari Ulama dan santri serta umat Islam Indonesia. 

Deislamisasi Penulisan Sejarah Islam di Indonesia Yang Disembunyikan

Banyak karya sejarah Islam Indonesia dan dunia Islam umumnya, yang beredar di sekitar kita. Namun, banyak pula isinya sangat bertentangan dengan apa yang diperjuangkan oleh Rasulullah saw, sahabat, khaifah, wirausahawan, ulama, waliyullah dan santri, serta umat islam.  

Apalagi dengan adanya upaya deislamisasi sejarah Indonesia, peranan ulama dan santri, sertau mat Islam didalamnya ditiadakan. Atau tetap ada, tetapi dimaknai dengan pengertian yang lain.

Seperti yang diangkat oleh K.R.H Abdullah bin Nuh masalah waktu masuknya Islam ke Indonesia semestinya terjadi pada abad ke-7 M. ternyata dituliskan sangat jauh beda waktunya. 

Dimundurkan hingga abad ke 13 M. Tidak hanya masalah waktu,  tetapi juga dituliskan oleh Orientalis kehadiran Islam di tengah bangsa dan Negara Indonesia dinilai mendatangkan perpecahan. 

Karena Islam dinilai menimbulkan banyak kekuasaaan politik Islam atau kesultanan yang tersebar di seluruh Nusantara sehingga Barat menemui kesukaran untuk menguasai Nusantara Indonesia.

Sebaliknya, walaupun kekuasaan politik atau Kerajaan Hindu dan Budha, tidak terdapat di seluruh pulau Nusantara Indonesia, tetapi ditafsirkan bangsa Indonesia saat itu mengalami zaman kejayaan dan keemasan.

Interpretasi Orientalis dan imperialis barat, selalu memuji Kerajaan Hindu dan Budha dan mendiskreditkan Islam.

Hal ini diakibatkan pelopor perlawanan terhadap penjajah barat di Indonesia adalah Ulama. Ketika imperialis Barat, Kerajaan Katolik Portugis 1511M, dan kerajaan Protestan Belanda, 1619M, mencoba menguasai Indonesia, selalu dihadang oleh Ulama dan Santri. 

Oleh karena itu, sejarawan barat menyebutnya dengan Santri Insurrection -Perlawanan santri. Mengapa tidak dilawan oleh kekuasaan politik Budha Sriwijaya dan Hindu Majapahit. Pada saat penjajah barat tiba di Nusantara, keduanya sudah tiada. 

Akibatnya, ketika penjajah Barat dengan Politik Kristenisasinya, dengan agama Katholik dan Protestan mencoba menjajah Nusantara Indonesia maka mereka berhadapan dengan Ulama dan Santri serta sultan yang berjuang mempertahankan kedauatan bangsa, Negara dan agama Islam.

Jika dalam sejarah, setiap gerakan perlawanan terhadap imperialis, disebut sebagai gerakan nasionalisme. 

Sementara dalam sejarah, ulama dan santri di Indonesia sebagai pelopor perlawanan terhadap imperialism, yang seharusnya Ulama dan santri dituliskan dalam sejarah Indonesia sebagai pembangkit kesadaran nasional Indonesia, ternyata tidak ditulis. 

Padahal, Ulama dan Santri menurut zamannya adalah kelompok cendikiawan  Muslim. Kelompok inilah dalam catatan sejarah sebagai pemimpin terdepan ide pengubah sejarah di Nusantara Indonesia.

Perlu diingat, istilah nasional dimasyarakatkan oleh Centraal Sjarikat Isam, dalam National Congres Centraal Sjarikat Islam Pertama – 1e Natico di Bandung 17-24 Juni 1916. 

Namun, dalam sejarah Indonesia  akibat diartikan nasionalisme bukan dari gerakan organisasi Islam maka istilah nasional seperti disosialisasikan oleh Perserikatan Nasional Indonesia -PNI- di Bandung, 4 Juli 1927. 

Padahal, istilah “Indonesia” dipelopori oleh Dr.  Soekiman Wirjosandjojo dengan mengubah Indische Vereniging menjadi Perhimpunan Indonesia, 1925 M di Belanda dan Majalah Hindia Poetera diganti menjadi Indonesia Merdeka. 

Akibat Dr.  Soekiman Wirjosandjojo aktif dalam pimpinan Partai Sjarikat Islam Indonesia, Partai Islam Indonesia, dan Partai Masjoemi tidak dituliskan sebagai pelopor pengguna pertama istilah Indonesia dan Indonesia Merdeka dalam masa Kebangkitan Kesadaran Nasional Indonesia.

Boeng Karno mendirikan PNI, 1927 M, sebelas tahun sesudah National Congres Centraal Sjarikat Islam Pertama -1e Natico, 1916 M, yang dipimpin oleh Oemar Said Tjokroaminoto, Abdoel Moeis, Wignjadisastra di Bandung. 

Oemar Said Tjokroaminoto tidak hanya sebagai Guru Politik, tetapi juga sebagai mertua Boeng Karno. Demikian pula, National Congres Centraal Sjarikat Islam juga memelopori menuntut Indonesia Merdeka atau Pemerintah Sendiri -Zelfbestuur, 1916 M.  

Namun dalam sejarah Indonesia, dituliskan pelopornya adalah Boeng Karno di depan Pengadilan Kolonial di Bandung pada 1929 M, atau Petisi Soetardjo  yang menuntut Indonesia Merdeka. Anehnya, tanggal jadi Boedi Oetomo, 20 Mei 1908 M, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. 

Padahal, sampai dengan Kongres Boedi Oetomo di Solo, 1928 M,  Menurut Mr.A.K. Pringgodigdo dalam Sedjarah Pergerakan Rakjat Indonesia, Boedi Oetomo tetap menolak pelaksanaan cita-cita persatuan Indonesia. 

Walaupun sampai dengan kongres tersebut, Boedi Oetomo sudah berusia 20 tahun, tetap mempertahankan Djawanisme. Selanjutnya, Dr. Soetomo membubarkan sendiri Boedi Oetomo, 1931 M karena tidak sejalan dengan tuntutan zamannya. 

Ajaran Kedjawen atau Djawanisme sebagai landasan wawasan Boedi Oetomo sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang dianut mayoritas pribumi. Melalui medianya Djawi Hisworo, Boedi Oetomo berani menghina Rasulullah saw.

Walaupun Boedi Oetomo dengan medianya menghina Rasulullah saw,  sampai sekarang umat Islam sebagai mayoritas bangsa Indonesia,  tetap menaati keputusan Kabinet Hatta, 1948 M. Bersedia menghormati 20 Mei  sebagai hari kebangkitan Nasional. 

Demikian pula kelanjutan Boedi Oetomo, menjadi Partai Indonesia Raya, dipimpin pula oleh Dr.Soetomo. dengan medianya, Majalah Bangoen, tidak beda dengan Djawi Hisworo, Juga menerbitkan artikel yang menghina Rasulullah saw. 

Selain itu, Partai Indonesia Raya -Parindra, sebagai partai sekuler dan anti Islam. Perlu kiranya para ulama dan MUI mempertimbangkan kembali keputusan Kabinet Hatta, 1948 M, tentang 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan NASIONAL.

Hari Pendidikan Nasional- Hardiknas pun diperingati setiap 2 Mei, kabarnya diambil dari hari lahir Ki Hadjar Dewantara, pendiri Taman Siswa, 1922 M, yang pada awalnya merupakan perkumpulan Kebatinan Seloso Kliwon.  

Kalau ini benar, mengapa bukan hari lahir KH.Achmad Dachlan pendiri Perserikatan Muhammadiyah, 18 November 1912 M, sepuluh tahun lebih awal dari Taman Siswo, 1922 M, dan pengaruhnya jauh lebih meluas di seluruh kota di Nusantara. 

Akibat deislamisasi penentuan Hardiknas, menjadikan  KH.Achmad Dachlan dan Muhammadiyah tidak terpilih sebagai pelopor pendidikan nasional. Sebenarnya masih banyak contoh lagi,  upaya deislamisasi terhadap penentuan peristiwa nasional dalam penulisan Sejarah Indonesia.

Upaya deisamisasi penuisan Sejarah Indonesia sudah berlangsung cukup lama. Secara sistemik proses deislamisasi penulisan Sejarah Indonesia, menjadikan peran Ulama dan Santri di bidang ipoleksosbud dan hankam, tidak mendapat tempat yang terhormat dalam Penulisan Sejarah Indonesia.  

Sementara masyarakat awam dan Cendikiawan Muslim sangat kurang memperhatikannya. Mereka mengira penulisan sejarah yang benar adalah yang pernah ditulis terlebih dahulu oleh sejarawan Belanda. 

Peristiwa sejarah yang terjadi di tengah bangsa Indonesia sampai hari ini hakikatnya merupakan kesinambungan masa lalu yang telah diletakkan dasarnya oleh Ulama dan Santri. 

Oleh karena itu, Perhatikanlah sejarahmu untuk hari esokmu.

(Disarikan dari buku “Api Sejarah” karya Ahmad Mansur Suryanegara)