Kisah  

UMAR BIN ABDUL AZIZ ( Sampai-Sampai Seorang Budak Jadi Teman Dekatnya)

“Adalah Umar ibn Abdul Aziz seorang yang bagus postur dan
akhlaknya, banyak ilmu, ahli jiwa, banyak takut dan taubatnya”
(adz-Dzahabi)

Pembicaraan tentang khalifah dan tabi’i Umar ibn Abdul Aziz adalah
pembicaraan yang memiliki warna dan keragaman.

Belum selesai anda
memahami makna sebuah potret dari potret-potret kehidupannya yang langka
sehingga ia membawa anda kepada potret lain yang lebih indah, lebih menarik dan
memiliki pengaruh yang dalam (mengesankan).

Dalam pembahasan yang lalu,
kita telah menyelami tiga dari potret kehidupan ‘khulafaur rasyidin yang kelima ini.

Maka marilah kita sekarang menikmati tiga potret lain yang tidak
kalah pamornya dari yang sebelumnya.

Adapun potret pertama, maka ‘Dukain
ibn Said ad-Daarimi’ akan meriwayatkan kisahnya kepada anda. Ia salah seorang
penyair rajaz yang menonjol. Ia menuturkan:

“Aku memuji Umar ibn
Abdul Aziz (dengan syair) pada saat ia menjadi gubernur di Madinah, lalu ia
menyuruh untuk memberiku lima belas unta betina dari unta-unta pilihan.

Tatkala unta-unta itu sudah berada di hadapanku, aku memperhatikanya.
Pemandangannya membuatku tercengang. Aku takut berjalan sendiri membawa mereka
di antara lereng-lereng pegunungan karena khawatir terjadi sesuatu dengan mereka
sementara untuk menjualnya, aku tidak menginginkannya.

Di saat aku dalam
keadaan seperti itu, kawan-kawan sejawat mendatangi kami karena hendak melakukan
perjalanan menuju ke negeri kami di ‘Najd.’

Aku meminta mereka untuk
menemaniku. Mereka berkata, ‘Selamat datang untukmu, dan kami akan berangkat
malam ini, persiapkan dirimu untuk keluar bersama kami.’

Aku lalu
menemui Umar ibn Abdul Aziz untuk mengucapkan selamat tinggal. Di majlisnya
kutemui ada dua orang syaikh (tokoh terpandang) bersamanya. Aku tidak mengenali
mereka berdua. Ketika aku hendak berpaling, Umar menoleh kepadaku dan berkata,
‘Wahai Dukain, sesungguhnya aku memiliki jiwa yang ambisius; bila kamu
mengetahui bahwa aku telah mencapai sesuatu yang lebih tinggi daripada apa yang
aku capai sekarang, maka datanglah kepadaku. Aku akan mengimbali jasamu itu.’

Aku berkata, ‘Persaksikanlah untukku akan hal itu wahai amir (Umar bin
Abdul ‘Aziz).’

‘Aku mempersaksikan Allah ta’ala akan hal itu, ‘ kata Umar

‘Dan (siapa yang menjadi saksi) dari makhluk-Nya,?’ tanyaku

Ia menjawab,
‘Kedua orang syaikh ini.!’

Aku mendekati salah satu dari keduanya dan
berkata, ‘Dengan ayah dan ibuku (sebagai tebusanmu), katakan kepadaku siapa
namamu agar aku dapat mengenalimu?.’

‘Salim ibn Abdullah ibn Umar ibn
al-Khaththab, ‘ jawabnya.

Aku menoleh ke arah amir dan berkata, ‘Aku
mujur mendapatkan saksi terpercaya ini…’, kemudian aku memandang kepada syaikh
yang lain seraya berkata, ‘Dan siapakah engkau –aku jadikan diriku sebagai
tebusanmu-.’

Ia menjawab, ‘Abu Yahya, budak sang Amir.’

Aku berkata,
‘Ini saksi dari keluarganya (orang dalam istana).’

Aku kemudian
mengucapkan salam kepadanya dan berlalu sembari membawa unta betina ke negeri
kaumku di ‘Najd.’

Allah memberikan berkah pada unta-unta tadi sehingga
dari keturunannya aku dapat membeli lagi onta yang lain dan budak-budak.

Hari-hari pun bergulir… Di saat aku berada di tengah padang pasir yang
menyengat di tanah Yamamah, Najd, tiba-tiba seorang pembawa berita duka
menyampaikan berita kematian Amirul mukminin, Sulaiman ibn Abdul Malik. Aku
bertanya kepadanya, ‘Siapakah khalifah yang menggantikannya?’

‘Umar ibn
Abdul Aziz,’ jawabnya.

Begitu mendengar jawabannya, aku segera berangkat
menuju negeri Syam.

Sesampainya di Damaskus, aku bertemu dengan Jarir yang baru saja keluar dari kediaman khalifah.

Aku menyalaminya dan
berkata, ‘Dari mana engkau wahai Abu Hazrah?.’

Ia menjawab, ‘Dari kediaman
khalifah, ia memberi orang fakir dan melarang (tidak memberi) para penyair.
Pulanglah ke tempatmu, itu lebih baik bagimu.!’

‘Sesungguhnya aku
memiliki kepentingan yang berbeda denganmu,’ kataku.

Ia berkata, ‘Terserah
kamulah.’

Aku bertolak hingga sampai di rumah khalifah. Ternyata di
sana, ia sedang berada di serambi rumah. Anak-anak yatim, janda-janda dan
orang-orang yang terzhalimi telah berada di sekelilingnya.

Saking penuh
sesaknya orang yang mengelilinginya, aku merasa tidak ada cara lain untuk bisa
menemuinya. Karena itu, aku mengeraskan suaraku seraya merangkai bait,

Wahai Umar,
Berikan kebaikan dan kemuliaan
Wahai Umar,

Berikanlah tempayan-tempayan yang besar
Sesungguhnya aku berasal dari
kota Qathan, tempat suku Daarim
Aku menagih hutang dari saudara
mulia

Abu Yahya, budak sang Amir memandangku begitu lama, kemudian
menoleh kepadanya (Umar) seraya berkata, ‘Wahai amirul mukminin, sesungguhnya
aku punya persaksian untuk orang badui (pedalaman) ini atasmu.’’

‘Aku tahu
itu,’ kata Umar

Kemudian Umar menoleh kepadaku dan berkata, ‘Mendekatlah
kemari wahai Dukain.!’

Saat aku sudah berada di hadapannya, ia
membalikkan badannya ke arahku dan berkata, ‘Apakah kamu ingat apa yang telah
aku katakan kepadamu di Madinah, bahwa bila jiwaku sudah memperoleh sesuatu
pastilah akan merindukaan (menginginkan) yang lebih tinggi darinya.’

‘Ya,
wahai amirul mukminin,’ kataku.

Ia menjawab, ‘Kini, aku telah memperoleh
suatu yang tertinggi dari apa yang ada di dunia ini, yaitu kerajaan.! Maka
jiwaku menginginkan sesuatu yang lebih tinggi lagi dari apa yang ada di akhirat,
yaitu surga, dan berjalan menuju kemenangan dengan (memperoleh) keridhaan Allah
AWJ. Apabila para raja menjadikan kekuasaannya sebagai jalan untuk sampai kepada
izzah (kemuliaan) dunia, maka sungguh aku akan menjadikannya jalan untuk sampai
kepada izzah akhirat.!’

Kemudian ia berkata, ‘Wahai Dukain, sesunggunya
aku –demi Allah- tidak pernah mengambil sepeserpun dari harta kaum muslimin;
satu dirham atau pun satu dinar semenjak aku menjabat urusan ini. Dan
sesungguhnya aku hanya memiliki seribu dirham saja, maka ambillah separuhnya
sedangkan separuhnya lagi sisakan untukku.’

Aku lalu mengambil harta
yang ia berikan kepadaku. Dan demi Allah, aku tidak pernah melihat yang lebih
besar berkahnya daripadanya.”

Adapun potret kedua diriwayatkan oleh
Qadhi Mousul (kawasan di Iraq-red), Yahya ibn Yahya al-Ghassaani. Ia
menuturkan,

“Ketika suatu hari Umar ibn Abdul Aziz berkeliling di
pasar-pasar ‘Himsh’ untuk mengontrol aktifitas perdagangan dan mengetahui
harga-harga. Tiba-tiba seseorang berdiri, ia memakai dua pakaian bergaris yang
berwarna merah dari Qatar, ia berkata, ‘Wahai amirul mukminin! Sungguh aku telah
mendengarmu memerintahkan orang yang terzhalimi untuk datang kepadamu.’

‘Benar,’ jawab Umar.

Ia berkata, ‘Dan kini telah datang kepadamu,
seseorang yang terzhalimi dari tempat yang jauh.’

‘Dimanakah keluargamu,?’
tanya Umar.

Orang tersebut menjawab, ‘Di ‘Aden (Yaman).’

Umar
berkata, ‘Demi Allah, sesungguhnya tempatmu dari tempat Umar sungguh jauh.’

Umar lalu turun dari kendaraannya dan berdiri di hadapannya seraya
berkata, ‘Kezhaliman apa yang menimpamu?.’

Ia menjawab, ‘Tanah milikku,
direbut dan dirampas oleh orang bawahan tuan.’

Umar lalu menulis surat
kepada ‘Urwah ibn Muhammad,’ bawahannya yang memerintah kawasan ’Aden. Bunyi
surat itu: “Amma ba’du, Apabila surat ini sampai kepadamu, maka dengarkanlah
bukti (hujjah/argumen) orang yang membawanya, jika memang haknya maka berikanlah
kepadanya.”

Ia kemudian memberikan setempel pada suratnya lalu
menyerahkannya kepada orang tersebut.

Saat orang itu hendak pergi, Umar
berkata kepadanya, ‘Jangan tergesa-gesa! sesungguhnya kamu telah mendatangi kami
dari negeri yang jauh. Tidak diragukan lagi, pasti kamu telah menghabiskan bekal
yang banyak untuk perjalananmu ini. Baju-baju barumu menjadi lusuh dan bisa jadi
tungganganmu binasa karenanya.’

Umar lalu mengkalkulasi seluruh biaya
tersebut hingga mencapai total sebelas dinar, lalu memberikannya kepadanya
(sebagai ongkos pengganti). Ia berkata, ‘Sebarkanlah mengenai hal ini kepada
khalayak manusia agar orang yang terzhalimi di tengah mereka tidak merasa berat
untuk mengadukan kezhaliman yang dialaminya setelah hari ini, walaupun tempat
tinggalnya jauh.!’”

Adapun potret ketiga, maka seorang ahli ibadah yang
zuhud, Ziyad ibn Maisaroh al-Makhzuumi yang akan meriwayatkannya kepada kita. Ia
menuturkan:

“Tuanku ‘Abdullah ibn ‘Ayyasy’ mengutusku dari Madinah
ke Damaskus untuk bertemu amirul mukminin, Umar ibn Abdul Aziz guna
menyelesaikan beberapa urusannya.

Antara aku dan Umar telah ada hubungan
lama dimulai saat ia menjabat sebagai penguasa Madinah. Saat aku masuk
menemuinya, ternyata ada seorang juru tulis di sisinya yang menulis untuknya.

Saat berada di depan bilik, aku mengucapkan, ‘Assalamu ’alaikum
.’

Ia menjawab, ‘Wa’alaikumussalam warahmatullah, ya Ziyad.’

Aku lalu berjalan ke arahnya dengan rasa malu, karena tadi tidak
mengucapkan salam kepadanya dengan menyebut ‘amirul mukminin’ terlebih dahulu.
Sesampainya aku kepadanya, aku mengucapkan (lagi), ‘Assalamu ‘alaika ya
Amiral mukminin warahmatullahi ta’ala wabarakatuh
.’

Ia berkata,
‘Wahai Ziyad, sesungguhnya aku tidak mengingkari atas ucapan salammu yang
pertama tadi, mengapa kamu harus mengucapkannya lagi untuk kedua kalinya?’

Juru tulisnya pada saat itu sedang membacakan pengaduan tindak
kezhaliman yang datang dari “Bashrah” melalui surat. Ia lalu berkata kepadaku,
‘Duduklah wahai Ziyad sehingga kami sampai kepada giliranmu.’

Aku duduk
di sebelah pintu, sedangkan juru tulis masih membacakan untuknya. Dan Umar
menarik nafas dalam-dalam karena merasa gundah.

Saat juru tulisnya
selesai membaca surat-surat yang ada bersamanya dan beranjak untuk menjalankan
tugasnya yang lain, Umarpun bangkit dari majlisnya. Ia berjalan ke arahku hingga
duduk di depanku di pintu. Ia meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututku
sembari berkata, ‘Selamat untukmu wahai Ziyad, kamu telah menghangatkan tubuhmu
dengan madro’ah (jubah yang terbuka bagian depannya) ini dan dapat
terhindar dari kesibukan yang kami hadapi. ‘

Aku memang memakai
madro’ah yang terbuat dari wool.

Kemudian ia mulai menanyaiku
tentang keadaan orang-orang shalih penduduk Madinah, kaum laki-laki dan
wanitanya, satu demi satu. Tidak satu orang pun dari mereka yang terlewatkan
olehnya untuk ditanyai keadaannya.

Ia lalu menanyaiku tentang hal-hal
yang pernah ia perintahkan di Madinah saat ia masih menjabat sebagai penguasa
dulu.

Aku memberitahukan kepadanya tentang segala yang ia tanyakan.

Ia mendesah sedih seraya berkata, ‘Wahai Ziyad, tidakkah kamu melihat apa
yang telah menimpa Umar.?’

Aku berkata, ‘Aku berharap kebaikan dan
pahala untukmu dalam hal itu.!’

Ia berkata, ‘Terlalu jauh (tidak
mungkin).!!!’

Kemudian ia menangis. Aku menghiburnya dan berkata,
‘Sayangilah dirimu wahai amirul mukminin, sungguh aku mengharap kebaikan
untukmu.’

‘Alangkah jauhnya apa yang kamu harapkan itu wahai Ziyad! Aku
dapat dengan leluasa mencela tanpa ada yang berani balas mencela, memukul tanpa
ada yang berani balas memukul, menyakiti orang tanpa ada yang berani balas
menyakitiku.!’

Ia pun menangis lagi sehingga membuatku iba terhadapnya.

Aku tinggal di sisinya selama tiga hari hingga berhasil menuntaskan tugas
yang diembankan tuanku.

Saat aku hendak pergi, ia menitipkan kepadaku
sepucuk surat untuk tuanku, isinya memohon kepadanya agar menjual diriku
kepadanya.

Kemudian ia mengeluarkan dua puluh dinar dari bawah kasurnya,
lantas berkata, ‘Pergunakan harta ini untuk menolong duniamu! andaikata kamu
mendapat jatah dari harta ‘Fai’ (harta rampasan yang didapat tanpa
melalui peperangan-red), pastilah akan kuberikan kepadamu.!’

Aku pun
menolak untuk mengambil harta darinya.

Ia berkata, ‘Ambillah, itu bukan
berasal dari Baitul Mal akan tetapi itu dari gaji pribadiku.”

Aku tetap
menolak untuk mengambilnya.

Ia terus memaksaku hingga aku mengambilnya dan
pergi.

Sesampainya di Madinah, surat amirul mukminin itu aku berikan
kepada tuanku. Ia membukanya dan berkata, ‘Ia memintaku agar menjualmu kepadanya
sehingga dapat memerdekakanmu. Kalau begitu, kenapa bukan aku saja yang
memerdekakanmu.?’

Kemudian ia pun memerdekakanku.”