Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Apakah Yang Dimaksud Gharar Dalam Transaksi?

Selain riba, factor lain yang dapat merusak suatu transaksi adalah gharar. Namun tak semua gharar dapat merusak transaksi. Ada sebagian bentuk gharar yang diperbolehkan secara syar’i. berikut sekilas pembahasan tentang gharar dalam transaksi.

Makna Gharar

Secara etimologi gharar adalah pecahan dari kata kerja gharara, yang bermakna menipu atau menggoda. Jadi, kata gharar berarti al-khada’ yaitu penipuan,(Lisan al-arab, 5/11 dan 13). Makna asli gharar adalah suatu yang secara zahirnya menyenangkan namun hakikatnya buruk atau tidak disukai. Maka kehidupan dunia ini disebut dengan mata’ al-ghurur atau kesenangan yang memperdaya. Berarti, secara bahasa gharar dapat dimaknai dengan tipuan yang kemungkinan besar menimbulkan ketidakrelaan saat mengetahuinya, dan termasuk dalam kategori memakan harta dengan cara yang batil.


Sedangkan dalam terminology fikih, istilah gharar mencakup kepalsuan, tipuan, ketidakjelasan barang dan ketidakmampuan untuk menyerahkan barang, (al-Figh Islami, 5/93 dan Subul as-Salam, 3/15). Al- Khaththabi mengatakan,”Pada asalnya gharar berarti segala sesuatu yang tidak diketahui dan tersembunyi. Maka setiap jual beli yang tujuannya masih samar-samar dan belum diketahui serta tidak bisa diserahterimakan barangnya, maka termasuk jual beli gharar.” (Ma’alim as-Sunan, 3/672).
Sebagaimana kesepakatan para fuqaha, gharar mencakup segala sesuatu yang tidak diketahui dan mengandung spekulasi sehingga tidak jelas kesudahannya. Dengan demikian, jual beli yang mengandung gharar berarti jual beli yang tidak diketahui eksistensi objeknya, begitu juga kadarnya dan kemungkinan bisa diserahkan atau tidak. (al-Fiqh Islami, 5/95-96).

Faktor Terjadinya Gharar

Ketika suatu transaksi mengandung unsur gharar, maka transaksi tersebut hukumnya rusak atau batal. Ada beberapa factor yang dapat menyebabkan terjadinya gharar pada suatu transaksi, diantaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, adanya unsur ketidakjelasan (jahalah) yang terkait dengan transaksi, objek transaksi berupa harga dan barang, waktu serah terima dan sarana-sarana penjamin dalam transaksi. Terkait dengan ketidakjelasan dalam transaksi seperti seseorang yang menjual barang dikaitkan dengan waktu, misalnya seorang penjual mengatakan,” saya akan menjual barang ini kepadamu jika bapakmu pulang”. Sehingga berlangsung atau tidaknya transaksi belum jelas, tergantung kepada kepulangan bapak yang beum pasti.

Sedangkan ketidakjelasan dalam objek transaksi seperti perkataan penjual,”ikan yang tertangkap dijala ini nanti aku jual kepadamu dengan harga sekian”, padahal bisa jadi hasil tangkapannya banyak atau sedikit. Kemudian terkait ketidak jelasan harga adalah seperti menjual kuda seharga sepuluh kambing dari segerombolan kambing yang ada. Padahal di atara kambing itu ada yang besar sehat da nada juga yang kecil dan sering sakit. Kemudian ketidakjelasn waktu penyerahan seperti pembeli yang mengatakan nanti saya bayar kalau sudah punya uang, sehingga menjadi tidak pasti kapan akan diserahkan. Selanjutnya ketidakjelasan terkait dengan sarana penjamin. Seperti halnya seorang pembeli yang membeli dengan perantara berupa barang jaminan atau orang yang akan menjamin. Dalam hal ini harus ditentukan dengan pasti barang yang akan dijadikan sebagai jaminan dan orang yang akan menjamin.

Kedua, eksistensi barang. Dalam hal ini ada 3 kondisi, pertama objek transaksi belum terwujud. Misalkan jual beli susu yang belum diperah, sebab kondisi dan kadar susunya belum jelas, bisa jadi susunya keruh dan keluarnya sedikit. Kedua, objek transaksi belum dimiliki. Sebagaimana halnya seorang menjual barang yang sudah dibeli namun belum ada serah terima, artinya barang tersebut masih dalam jaminan penjual. Ketiga, objek belum berada ditempat transaksi. Dalam kasus ini sebenarnya barang yang ditransaksikan itu ada, namun tidak berada ditempat transaksi, sehingga pembeli tidak mengetahui kondisi sebenarnya dari barang yang ada. Oleh karena itu kondisi gharar dalam transaksi seperti itu dapat dihilangkan dengan adanya khiyar ru’yah, yaitu hak bagi pembeli untuk menentukan pilihannya antara meneruskan transaksi atau membatalkannya setelah melihat objek transaksi. Ini menurut pendapat Malikiyah dan Hanafiah. Sedangkan menurut Syafiiyah dan Hanabilah transaksi seperti itu tidak diperbolehkan, meskipun pada asalnya barang itu ada.

Ketiga, unsur serah terima barang. Serah terima barang merupakan proses yang urgen dalam transaksi. Oleh karena itu secara umum para ulama mazhab bersepakat tidak bolehnya transaksi pada barang yang masih spekulasi antara bisa dan tidaknya untuk diserahterimakan. Seperti menjual burung yang keluar dari sangkar, menjual hewan buas yang lepas, menjual barang yang dighasab, atau menjual budak yang kabur meskipun diketahui keberadaan dan ciri-cirinya. Meskipun ada pendapat yang membolehkan, namun itu adalah pendapat lemah sebagaimana dijelaskan oleh Wahbah Az-Zuhaili.

Kriteria Gharar

Para ulama mengklasifikasikan gharar berdasarkan efeknya terhadap transaksi menjadi 2 macam, yaitu gharar muatsir (merusak) dan gharar ghairu muatsir (tidak merusak). Ada beberapa kriteria gharar yang menyebabkan rusaknya transaksi, diantaranya adalah :

Pertama, gharar dengan kadar yang relative besar. Maknanya adalah jika gharar tersebut ringan atau sulit dihindari maka tidak berpengaruh terhadap keabsahan transaksi, (Zaad al-Ma’ad, 5/820). Kemudian ada sebagian ulama merumuskan batasan antara gharar yang besar dan ringan. Diantaranya adalah al –Baji yang berpendapat bahwa gharar yang kecil atau ringan adalah gharar yang tidak dimaksudkan sebagai bagian dari akad atau transaksi. Sedangkan gharar yang besar adalah gharar yang menjadi bagian terpenting dari transaksi hingga mendominasi objek transaksi tersebut,(al-Gharar fi al-Uqud,41).

Kedua, gharar tersebut terletak pada objek yang menjadi tujuan transaksi. Maksudnya adalah gharar tersebut tidak terjadi pada sesuatu yang mengikuti pada objek yang utama. Maka tidak mengapa menjual hewan yang bunting, asalkan antara induk dan janin yang masih dalam perut tidak dijual terpisah.(al-Mughni,4/157).

Ketiga, tidak terjadi pada transaksi yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Maknanya adalah jika gharar itu terdapat pada transaksi yang sangat dibutuhkan masyarakat, dan jika dilarang menimbulkan mudharat, maka diperbolehkan meskipun mengandung unsur gharar, (al-Majmu’ Syarh al-Muhaddzab, 9/246) seperti menjual makanan dalam kemasan.

Keempat, gharar tersebut terjadi pada jenis transaksi pertukaran harta. Maka tidak mengapa gharar tersebut terjadi pada transaksi tabaruat, seperti hibah dan wasiat. Dengan demikian, tidak diharuskan bagi orang yang mendapat sedekah untuk mengetahui banyaknya sedekah yang diberikan, (al-Gharar fi al-Uqud, 42).

Wallahu a’lam []