Tatacara Dan Adab Dalam Mengkhitbah Seorang Wanita

Jika seorang laki-laki
hendak meminang seorang wanita, maka yang harus dilakukan adalah; Pertama, ia harus meminta wanita itu
dari walinya. Bukhari telah meriwayatkan hadits dari Urwah bin Zubair Ra, bahwa
Rasulullah SAW telah meminang Aisyah Ra dari Abu Bakar Ash-Shiddiq Ra. Maka
,Abu Bakar pun berkata,” Aku ini saudaramu.” Kemudian, Rasulullah SAW
bersabda,” Engkau saudaraku dalam agama dan Kitab Allah, sedangkan ia (Aisyah)
adalah halal bagiku.”

Kedua,
wanita yang sudah baligh boleh dilamar langsung kepada dirinya sendiri. Imam
Muslim telah meriwayatkan sebuah hadits dari Ummu Salamah Ra, bahwa ia
berkata,” Ketika Abu Salamah telah meninggal, Rasulullah SAW mengirim Hathib
bin Abi Balta’ah Ra guna meminangku untuk beliau. Maka, aku pun berkata,”
Sesungguhnya, aku memiliki seorang anak perempuan, dan aku adalah wanita
pencemburu”.


Sebagai catatan, bahwa
seorang wali boleh menawarkan wanita yang perwaliannya ada di tangannya kepada
orang yang memiliki kebaikan. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Umar Bin
Khaththab ketika menawarkan putrinya, Hafshah Ra, kepada Utsman bin Affan, lalu
kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq Ra.


Bukhari telah
meriwayatkan dalam hadits no. 5122, kitab An-Nikah,
dari Abdullah bin Umar Ra bahwa ia berkata,” Tatkala Hafshah binti Umar menjadi
janda setelah bercerai dengan Khunais bin Hudzhafah As-Sahmi- salah seorang
sahabat Rasulullah SAW yang wafat di Madinah-, maka Umar Bin Khaththab
berkata,’ Aku mendatangi Utsman bin Affan dan aku tawarkan Hafshah kepadanya. 



Utsman menjawab,’ saya akan mempertimbangkannya.’ Aku menunggu selama beberapa
malam. Kemudian ia menemuiku seraya berkata,”Saya pikir, pada waktu ini aku
belum berminat untuk menikah.”


Umar melanjutkan,” Aku
lalu menemui Abu Bakar Ash-Shiddiq dan berkata,’ Jika engkau mau, aku akan
menikahkanmu dengan Hafshah binti Umar.’ Abu Bakar hanya diam dan tidak memberi
jawaban kepadaku. Maka, aku pun tahu bahwa ia akan menjawab sebagaimana jawaban
Utsman. Lantas, aku pun berdiam diri selama beberapa malam. 



Beberapa malam
kemudian, Rasululah SAW meminang Hafshah, maka aku pun menikahkannya kepada
beliau. Setelah itu, Abu Bakar menemuiku seraya berkata,’ Barangkali engkau
marah kepadaku saat engkau menawarkan Hafshah dan aku tidak memberi jawaban
kepadamu?’ Aku pun menjawab,’Benar’.


Abu Bakar
berkata,’Tidak ada yang mencegahku untuk memberikan jawaban kepadamu atas
sesuatu yang engkau tawarkan kepadaku, melainkan karena aku telah mendengar
bahwa Rasulullah SAW telah menyebut-nyebut namanya (Hafshah). Dan, aku tidak mau
membuka rahasia beliau. Seandainya beliau tidak menikahinya, tentu aku akan
menerimanya.”


Dalam Fathul Bari, IX:178, Al-Hafizh Ibnu
Hajar
memberikan ulasan hadits ini dengan pernyataan,” Dalam Hadits tersebut
terdapat dalil mengenai bolehnya seseorang untuk menawarkan anak perempuannya
atau wanita-wanita lain yang menjadi tanggung jawabnya kepada seseorang yang
dipercaya kebaikan dan keshalihannya. Sebab, dalam hal ini ada manfaat bagi
orang yang ditawarkan dan ia tidak merasa malu dalam ha tersebut.


Hadts tersebut juga
menunjukkan bahwa menawarkan seorang wanita kepada orang yang telah beristri
tidak ada salahnya. Sebab, pada saat itu, Abu Bakar pun telah beristri. Bahkan,
persoalan semacam ini juga telah berlaku dalam syari’at umat sebelum kita. 



Yaitu, Nabi Syu’aib, orang shalih, yang telah berkata kepada Musa Alaihisalam
seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an,” Dia (Syu’aib) berkata,’ Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu
dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku
delapan tahun
.” (Al-Qashsash: 178).


Seorang wanita juga
boleh menawarkan dirinya sendiri kepada seorang laki-laki shalih agar
menikahinya, jika aman dari fitnah. Hal ini pernah terjadi dalam kisah seorang
wanita yang menawarkan dirinya kepada Nabi SAW. 



Hadits tersebut diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim, bab ‘Ardhil
Mar’ati Nafsaha ‘alar Rajulish Shalih
, dari hadits Sahl bin Sa’ad, bahwa
ada seorang wanita yang menawarkan dirinya kepada Nabi SAW. 



Kemudian ada
seseorang yang berkata kepada beliau,” Wahai Rasulullah, nikahkanlah saya
dengannya.” “ Apa yang kamu miliki (sebagai maharnya)?” Tanya beliau.” Saya
tidak memiliki apa-apa.” “Pergi dan carilah walaupun hanya cincin yang terbuat
dari besi.”


Orang itu pun pergi
lalu kembali lagi seraya berkata,” Demi Allah, saya tidak mendapatkan sesuatu
walaupun hanya sebuah cincin yang terbuat dari besi. Namun, saya memiliki
sarung ini, dan wanita tersebut berhak atas setengah sarung ini.” Sahl
menambahkan,” Orang tersebut tidak memiliki pakaian sama sekali (kecuali
sarung).” 



Maka Rasulullah bersabda,’ apa yang dapat engkau perbuat dengan
setengah sarungmu itu, saat engkau memakainya?” Setelah duduk lama, orang
itupun beranjak pergi.


Saat beliau melihatnya,
beliau pun memanggilnya – atau dipanggil untuk menghadap beliau-. Beliau
bertanya kepadanya,” Apakah engkau memiliki hafalan Al-Qur’an?” “Saya hafal
surat ini dan ini.” “Nabi SAW lalu bersabda,” Aku menjadikan wanita itu
milik(istri)mu dengan mahar hafalan Al-Qur’an yang ada padamu.”


Dalam bab ini juga,
Bukhari menyebutkan sebuah hadits lain yang diriwayatkan dari Tsabit Al-Bunani,
bahwa ia berkata,” Saya sedang berada di tempat Anas dan putrinya juga
bersamanya. Anas berkata,’ Seorang wanita datang menawarkan diri kepada
Rasulullah SAW. Ia berkata,’Ya Rasulullah, apakah engkau berminat untuk
menikahiku?’ 



Putri Anas sontak berkata,’ Perempuan tidak tahu malu. Alangkah
buruknya itu.’ Maka, Anas berkata kepada putrinya,’ Ia lebih baik dari dirimu.
Ia senang kepada Rasulullah SAW, lalu menawarkan dirinya untuk beliau.”


Al-Hafizh berkata,”
Dalam dua hadits tersebut terdapat dalil mengenai bolehnya seorang wanita
menawarkan dirinya dan memberitahukan rasa sukanya kepada seorang pria. Dan ia
tidak tercela karena perbuatan tersebut.”


Dalam fatwa Lajnah Daimah, XVIII : 40,NO. 17930,
disebutkan: Wanita yang mempublikasikan keinginannya untuk menikah, di
Koran-koran, majalah-majalah, maupun situs-situs internet dengan menyebarkan
foto-foto dirinya serta menyebutkan sifat-sifatnya, maka hal tersebut bertolak
belakang dengan budaya malu, kehormatan, dan tirai (satr) bagi perempuan.” Wallahu
a’lam


[Syaikh Nada Abu
Ahmad]