Amanah,,,,

“Sungguh Kami telah menawarkan amanah kepada langit,
bumi dan gunung-gunung,
 maka semuanya
enggan untuk memikul amanah itu. Dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Dan
dipikullah amanah itu oleh manusia. Sungguh manusia itu amat zhalim dan amat bodoh”

(QS.33:72)

Akhirnya manusia memberanikan
diri memikul beban amanah itu. Sungguh sebuah keberanian yang spektakuler.
Karena ia lahir justru ketika semua peserta alam raya lainnya-langit, bumi dan
gunung-gunung-menolaknya. Tak satupun dari mereka yang mempercayai kemampuannya
membawa amanah besar itu.


Ternyata hidup
adalah sebuah pertanggung jawaban. Ia bukan permainan,sebab ia diberikan kepada
kita atas dasar sebuah perjanjian sakral dengan Allah, Sang Pencipta kehidupan.
Dan bumi ini, tempat dimana kehidupan manusia disemaikan, adalah panggung
pementasan amanah.


Tiap detik
yang kita lalui dilorong waktu kehidupan ini adalah jenak-jenak yang harus
dipertanggung jawabkan didepan Allah. Setiap sisi ruang dan waktu harus
merupakan implementasi ‘ibadah’ total kepada Allah. Sebab hanya dalam kerangka
itu, semua gerak kita memperoleh makna hakiki di mata Allah.


Dalam visi
seorang muslim, ibadah itu dikejawantahkan dalam dua kata: imaroh dan khilafah.
Inilah amanah besar yang dibebankan kepada manusia. Dan untuk amanah itu
pulalah, Allah berkenan meniupkan nafas kehidupan kedalam raga manusiawi kita.


Sesungguhnya
tingkat kesadaran kita akan hakikat ini akan menentukan tingkat ‘intensitas’
kehadiran jiwa dalam menjalani hidup. Sebab, kesadaran itulah yang mengikat
jiwa kita secara terus menerus dengan misi penciptaan kita. Seperti mata, jiwa
yang memiliki kesadaran begini, selamanya akan terbuka membelalak menatap
setiap jejak langkahnya.


Begitulah pada
mulanya kesadaran amanah itu hinggap dalam jiwa dan akal Rasulullah saw.
Seterusnya ia menulari jiwa dan akal sahabat-sahabat beliau. Dan dari telaga
kesadaran inilah mereka meneguk mata air kecemerlangan. Sebab air telaga itulah
yang memberi mereka “dorongan dan tenaga jiwa” yang tak pernah kering.


Nyaris tak pernah
kita dengarkan, bahwa usia dan semua hambatan duniawi lainnya merintangi
gejolak jiwa mereka untuk berkarya dan berkarya. Bahkan dalam proses berkarya,
memberi dan lelah karenanya, mereka justru menemukan makna kehadiran mereka di
panggung kehidupan ini, sesuatu yang memberi mereka kelezatan jiwa.


Obsesi amanah
itu telah melepaskan jiwa mereka dari lingkaran ketegangan daya tarik kehidupan
duniawi. Sebab sesungguhnya berkarya dan memberi itu adalah menapaki tangga
menuju langit ketinggian. Dan hambatan terbesar yang akan selalu ‘memberatkan’
langkah kita adalah daya tarik dunia.


Kita tidak akan memperoleh
‘keringanan’ jiwa untuk berkarya dan memberi, kecuali ketika kita berhasil
membebaskan jiwa kita dari lingkaran ketegangan daya tarik duniawi itu. Dan
untuk pembebasan itu, selain faktor imaniyah lainnya, kesadaran akan amanah
kehidupan ini merupakan kekuatan pembebas yang sangat kuat.


Bila suatu
ketika engkau berkesempatan berdekat-dekat dengan jiwa, rasakanlah bahwa ada
jenak-jenak dimana tali kecapi nuranimu bergetar menyenandungkan hakikat
kehidupan ini. Dan bila engkau mendengarnya dengan telinga hatimu, engkau akan
menemukan pesan menuju ketinggian.